Berkarya tidak akan terhalang oleh waktu selama ada kemauan dan tindakan yang menyertainya. Itulah gambaran yang cukup pas untuk mewakili band lawas Lemurian Codex.
Band yang beranggotakan Sapta “Moel Madness” Mulya (Songwriter/Bass /Vocals/Arrangements), Sigit Soegeng (Keyboards/Brass sections/Strings Arrangements) dan A.A Goya (Drums/Percussions) merupakan musisi senior yang telah malang melintang diindustri musik sejak pertengahan 90-an.
Moel yang dikenal sebagai vokalis juga penulis lagu sekaligus bassis Eternal Madness, dimana band metahl ini juga dikenal dengan ciri etniknya. Bahkan tidak saja dikenal oleh kalangan komunitas musik keras di Indonesia namun hingga mancanegara.
Kemudian, AA Goya, juga salah satu pendiri Vexerm, band tribute Metallica. Ditambah Sigit Soegeng, musisi multi instrumental juga keyboardis yang banyak memainkan music jazz dan klasik. Mereka pun sepakat untuk bergabung dan kembali berkarya di tahun 2018. “Kami mulai merekam karya sekitar februari 2019,”ucap Moel. Rabu (11/3/2020).
Lebih lanjut, Mole berkisah, dirinya merekam beberapa ide cord yang kemudian ia menghubungi Sigit Sugeng untuk kolaborasi nulis patern element harmonic orchestrasinya. “Nah setelah komplit barulah saya kontak Goya untuk take drum. Jadi ini mengalir begitu saja,”terangnya.
Sebagai debut, Lemurian Codex melepas single perdana mereka judul “Lemurian Manifesto”. Dijelaskan Moel, Lemurian Manifesto adalah legenda Lemurian yang mulai populer pada awal abad 19 di kalangan mistikus, budayawan dan ilmuwan Eropa tentang masyarakat maju yang menjunjung perdamaian dengan kebijakan serta kemampuan di atas manusia rata-rata. “Sedangkan Codex bisa diartikan hukum/undang-undang, naskah kuno,”paparnya.
Lemurian Manifesto sendiri menjadi satu dari 7 lagu yang masih tahap penyelesaian rekaman, dan rencananya akan dirilis dalam kemasan mini album.
Menurut Moel, lagu lainnya tak lepas dari ide setelah melihat kegelisahan akan kondisi dunia yang dengan trend media sosial di internet bukan cuma berdampak positif tetapi banyak melahirkan hal-hal yang berbau negatif .
Terutama meningkatnya isu SARA, fanatisme yang tidak bertoleransi lagi dan hal-hal yang kemudian berdampak pada terjadinya perpecahan bahkan kekerasan fisik di masyarakat luas.
“Pendekatan budaya menjadi dasar pengembangan lagu-lagu yang kami tulis, dengan harapan sedikit banyak dapat mengingatkan kepada masyarakat luas bahwa kultur budaya yang toleransi adalah akar utama pemersatu tanpa melihat asal, suku, ras bahkan agama,”tutup Moel. (Red/Dhi/IMC)
ikuti kami di Google News